19 Desember 2012

Ketika Pelayanan Mendatangkan Pelajaran Berharga



Makin banyak hal yang bisa dipelajari sejalan dengan pertambahan umur. Belum lama ini saya kembali mendapat pelajaran dari pengalaman  pribadi yang saya dapatkan ketika sedang menjalankan tugas pada penyelenggaraan Company Expo, bulan December lalu. Dan saya menganggap ini sebagai pengalaman yang berharga untuk saya.
       Berbeda dengan pelaksanaan sebelumnya, pada Expo kali ini saya dan teman-teman satu divisi mendapat tugas sebagai Stock  Data Officer, dimana para sales sebelum menjual product wajib terlebih dulu menanyakan keberadaan stock pada kami. Sesuai dengan tugas harian saya yang menangani model besar dan kecil, maka setiap aktifitas penjualan pada Expo tersebut, saya banyak kali disibukkan dengan harus memeriksa jumlah stock yang kami miliki di gudang maupun yang saat itu berada di venue, sehingga siap untuk dijual dan dibawa oleh customer. Hal itu mengharuskan saya berlari bulak-balik selama event untuk mengecek ke penyimpanan product; terutama model kecil, yang memang kebanyakan dibeli oleh customer dan tentunya ingin langsung dibawa pulang.
       Sore menjelang malam pada pelaksanaan hari terakhir, ketika itu saya baru kembali dari mencari salah satu sales untuk mengkonfirmasi sesuatu hal. Saat mendekati meja tugas saya, saya melihat seorang Bapak yang sedang mengeluarkan salah satu model kecil dari bungkusnya. Seorang rekan yang menangani delivery menginformasikan bahwa Bapak tersebut ingin mencoba barang yang baru dibelinya itu. Dalam kelelahan karena baru saja tiba dari tempat display, saya mempersilahkan Bapak itu –tetap dengan nada suara yang ramah- untuk menuju ke booth dan mencoba di sana. Tanpa disangka, bapak itu merespon pernyataan saya dengan nada tinggi, “Jadi saya harus jalan sendiri kesana?!! Terus ini siapa yang bawain?!” Terus terang saat itu saya kaget sekali, sehingga untuk sesaat saya tidak bisa berpikir untuk menjawab apa. Akhirnya saya mengambil barang yang sedang dipegangnya, kemudian mengajak bapak itu berjalan bersama menuju booth. Masih belum puas ngomel rupanya, kali ini bapak itu mempersoalkan siapa yang akan menjaga box pembungkus model yang dibelinya itu. Saya sarankan untuk ditinggal saja, karena pastinya rekan-rekan yang lain akan membantu menjaga sampai nanti bapak itu kembali. Setelah membujuk beberapa saat –karena awalnya dia berkeras tidak yakin kalau box pembungkusnya akan aman jika ditinggal- akhirnya dia setuju untuk berjalan bersama saya menuju booth.
       Sepanjang perjalanan menuju booth, bapak itu terus menunjukkan kekesalannya dengan mengeluh mengenai pelayanan di EXPO ini. Sejujurnya pada awalnya dalam hati saya merutuk, “Apa tampang gue masih kurang kucel yah, untuk loe tahu kalau gw nih capek banget? Penting banget kayanya ngomel-ngomel ke gue?!” Tapi kemudian saya mencoba memposisikan diri sebagai customer, dimana saya berpikir mungkin saya pun akan merasa kesal sama seperti bapak itu jika mengalami hal yang sama dengan yang dialaminya. Hari pertama dia membeli produk, setelah selesai membayar baru dia tahu kalau barangnya sedang tidak ready stock di venue, hingga oleh sales dia diminta untuk kembali lagi mengambil barangnya hari ini. Dan setelah dia datang mengambil, tidak ada satupun yang melayani dia, sehingga dia harus mengurus segala sesuatunya sendiri. Akhirnya sambil berusaha untuk tetap sabar, saya mencoba menanggapi untuk menetralisir emosinya. Saya jelaskan bahwa produk yang dimaksud memang baru datang lagi dari gudang besar kami siang itu, setelah stock yang kemarin ada habis terjual. Dan mengenai tidak ada yang melayani, karena memang kami sudah ada pembagian, dan kebetulan saya yang seharusnya menangani bagian produk tersebut  (walaupun sebenarnya urusan saya adalah hanya dengan sales, bukan customer langsung). Tapi mungkin karena tadi saya kebetulan ada keperluan, jadi saya mohon maaf kalau bapak itu sebelumnya merasa agak diabaikan. Saya terus berbicara sambil mensetting baik suara maupun ekspresi muka saya agar tetap ringan dan ramah. Saat itu saya hanya memikirkan jangan sampai dia jadi men-cap jelek company kami. Satu masalah lagi yang saya temui belakangan, ternyata bapak itu pun kurang paham mengenai harus mencolokkan kabel kemana, untuk mengetes produk yang dia beli tersebut. Saya pun panik; karena saya juga tidak tahu apa-apa mengenai hal itu. Saat itu saya mencoba mencairkan suasana dengan bercanda, “Wah, kayanya kita punya masalah besar nih, Pak.” Dan kali ini bapak itu mulai sedikit mengendurkan mukanya, tidak sekencang seperti tadi.
       Sesampai di booth, masih dengan kebingungan saya mencoba bertanya lagi pada bapak itu, jika dia melihat sales yang kemarin melayaninya. Walau awalnya dia bilang dia sudah lupa –waktu saya tanyakan hal ini di perjalanan tadi-, namun akhirnya bapak itu berhasil mengenali sales yang dimaksud. Segera kami menghampiri sales itu, kemudian saya menyerahkan produk kepada sales dealer sambil menjelaskan maksud bapak customer itu, agar di follow up kebutuhannya. Setelah itu, saya bersiap meninggalkan tempat sambil saya berpamitan pada si bapak customer. Terus terang saya merasa lega sekali bisa lepas dari bapak itu sebentar lagi, karena sekalipun saya berhasil mengatasi tidak membuat dia lebih marah, tapi dalam hati saya merasakan kekesalan yang amat sangat luar biasa.
       Namun sesaat sebelum saya melangkah, bapak itu kemudian mengambil tangan saya dan menyalami saya sambil mengucapkan terima kasih untuk bantuan saya. Raut mukanya juga sudah sangat ramah. Dalam beberapa detik selama dia bicara, banyak hal berkecamuk di pikiran saya. Terakhir bapak itu berkata, “Cool yah, mbak…!” sambil menepuk pundak saya. Saya tersenyum. Tidak perlu diucapkan, namun saya merasa pasti bahwa bapak itu sebetulnya meminta maaf untuk kekasarannya kepada saya dari tadi. Dan ajaibnya, rasa kesal saya yang dari tadi sudah menumpuk pun hilang seketika.
       Pada malam hari setelah selesai seluruh acara, saya menceritakan kejadian tersebut kepada teman-teman saya, dan saya jadi  sungguh-sungguh menyadari bahwa permohonan maaf yang tulus -entah melalui perkataan ataupun perbuatan-, memang mampu menghapus kemarahan yang bertumpuk. Saya pun merasa senang dengan kemampuan saya mengendalikan emosi hingga berhasil  untuk tetap melayani bapak itu dengan ramah, yang membuat dia merasa puas dengan pelayanan saya. Sehingga akhirnya semua bisa berjalan dengan baik.


22-02-2007