Setiap hari
dalam perjalanan menuju tempat kerja saya akan melewati papan reklame besar
yang bertuliskan “SELAMATKAN UANG RAKYAT! Pakai BBM non Subsidi”. Dari pertama
kali reklame tersebut dipasang saat-saat menjelang sidang DPR mengenai kenaikan
harga BBM, sudah terbersit di pikiran saya, ‘apa sih maksud nih kalimat?’.
Well, saya
memang bukan pakar ekonomi, saya pun juga bukan termasuk dalam hitungan mereka
yang beruntung merasakan bangku kuliah. Namun orang-orang di sekitar saya cukup
mengakui kecerdasan saya, dan masalah hitung-hitungan saya termasuk yang bisa diandalkan.
Karena saya mampu untuk ‘berhitung di udara’ tanpa menggunakan kalkulator atau
bahkan kertas untuk coret-coretan jika situasi mendesak.
Dalam
pandangan saya sebagai orang awam, kalimat tersebut seperti salah satu soal ujian yang
ditemui saat masih sekolah di SD jaman dulu. Dimana kita diharuskan memutuskan
A/B/C/D untuk dua kalimat yang diberikan; apakah kalimat a dan b benar dan
berhubungan sebab-akibat, atau sebaliknya. Dan untuk kalimat di reklame tersebut,
saya akan menjawab B (a benar b benar tapi tidak berhubungan sebab akibat).
Saya setuju
pernyataan ‘Selamatkan Uang Rakyat’. Saya juga setuju seruan untuk tidak
menggunakan bbm bersubsidi bagi mereka yang memiliki kendaraan (terutama
mobil). Dalam hemat saya, jika memutuskan untuk membeli mobil maka haruslah
siap dengan konsekwensi berupa segala biaya perawatan maupun biaya konsumsi si
mobil tersebut. Sama seperti setiap orang yang memiliki HP, sadar resiko harus
memiliki uang untuk isi ulang pulsa. Otherwise HP tersebut akan menjadi HP
gagu karena hanya dipakai kalau ada telepon masuk.
Jika dikaitkan
tidak menggunakan bbm bersubsidi dengan menyelamatkan uang rakyat, itu yang
saya tidak mengerti. Dari mana bisa dikatakan dengan menaikkan harga BBM
artinya ‘kita’ menyelamatkan uang rakyat?
Seperti yang
saya katakan, tidak butuh gelar dan jabatan hebat untuk bisa mengkalkulasi
secara cepat bahwa dengan kenaikan harga BBM maka imbasnya akan langsung ke
semua aspek kehidupan. Harga transportasi naik, harga bahan makanan pun naik.
Jangan dulu bicara mengenai harga baju dan perlengkapan sekunder lainnya.
Bayangkan
mereka yang hidupnya dibawah garis rata-rata. Terakhir sebelum kenaikan harga
BBM diputuskan, saat saya berbelanja di pasar traditional, harga tahu putih
ukuran besar sudah mencapai Rp. 3,000.- per buah. Saya belum tahu lagi berapa
harganya sekarang setelah kenaikan harga BBM ini. Misalkan beli tahu, sayur, bumbu dapur,
katakanlah rata-rata itu semua bisa didapatkan dengan Rp. 10,000.-. Untuk makan selama
satu bulan paling tidak membutuhkan uang sejumlah Rp. 300,000.-. Tidak perlulah
saya menambahkan hitungan gas, minyak goreng, beras, dll-nya. Apalagi untuk
menyebutkan biaya transport bepergian, kebutuhan sekolah, alas kaki, ataupun
baju…?
Kemudian,
dengan 'pintarnya' pemerintah mengalokasikan dana subsidi tersebut ke ‘proyek’ BLSM.
Yang pernah saya baca di internet mengenai ‘balsem’ ini adalah berjumlah Rp.
150,000/bulan, dan di-klaim setiap empat bulan sekali. Artinya biaya hidup
untuk orang miskin adalah Rp. 600,000/4 bulan.
Apakah bisa
diterima dengan logika angka tersebut..?
Apakah BLSM dengan
anggaran yang dibudgetkan sampai trilyunan rupiah itu sudah tepat
perhitungannya dan juga bisa tiba tepat sasaran?
Dengan adanya
berita-berita yang saya baca sekilas mengenai data penerima BLSM di kabupaten
manalah tidak updated; atau ada yang tidak pantas menerima BLSM namun namanya
tercantum, juga menambah daftar kendala proses
BLSM ini. Menimbulkan pertanyaan dan kesanksian baru bagi saya, bagaimana bisa
pemerintah menetapkan angka budget BLSM jika datanya saja tidak benar…?
Hingga
akhirnya menuntun kembali ke pernyataan di reklame yang mencungkil saraf kepo
saya; apakah tepat pernyataan ‘Selamatkan Uang Rakyat’? Karena kenyataannya
rakyat mana yang merasa terbantu, ‘bisa benafas sedikit lebih lega’ dengan adanya
kenaikan bbm ini? Ataukah mungkin lebih tepatnya diganti dengan ‘Selamatkan
Kondisi Rekening Bank Kami’..??