27 Juni 2013

Selamatkan Uang Rakyat




Setiap hari dalam perjalanan menuju tempat kerja saya akan melewati papan reklame besar yang bertuliskan “SELAMATKAN UANG RAKYAT! Pakai BBM non Subsidi”. Dari pertama kali reklame tersebut dipasang saat-saat menjelang sidang DPR mengenai kenaikan harga BBM, sudah terbersit di pikiran saya, ‘apa sih maksud nih kalimat?’.


Well, saya memang bukan pakar ekonomi, saya pun juga bukan termasuk dalam hitungan mereka yang beruntung merasakan bangku kuliah. Namun orang-orang di sekitar saya cukup mengakui kecerdasan saya, dan masalah hitung-hitungan saya termasuk yang bisa diandalkan. Karena saya mampu untuk ‘berhitung di udara’ tanpa menggunakan kalkulator atau bahkan kertas untuk coret-coretan jika situasi mendesak.


Dalam pandangan saya sebagai orang awam, kalimat  tersebut seperti salah satu soal ujian yang ditemui saat masih sekolah di SD jaman dulu. Dimana kita diharuskan memutuskan A/B/C/D untuk dua kalimat yang diberikan; apakah kalimat a dan b benar dan berhubungan sebab-akibat, atau sebaliknya. Dan untuk kalimat di reklame tersebut, saya akan menjawab B (a benar b benar tapi tidak berhubungan sebab akibat).


Saya setuju pernyataan ‘Selamatkan Uang Rakyat’. Saya juga setuju seruan untuk tidak menggunakan bbm bersubsidi bagi mereka yang memiliki kendaraan (terutama mobil). Dalam hemat saya, jika memutuskan untuk membeli mobil maka haruslah siap dengan konsekwensi berupa segala biaya perawatan maupun biaya konsumsi si mobil tersebut. Sama seperti setiap orang yang memiliki HP, sadar resiko harus memiliki uang untuk isi ulang pulsa. Otherwise HP tersebut akan menjadi HP gagu karena hanya dipakai kalau ada telepon masuk.


Jika dikaitkan tidak menggunakan bbm bersubsidi dengan menyelamatkan uang rakyat, itu yang saya tidak mengerti. Dari mana bisa dikatakan dengan menaikkan harga BBM artinya ‘kita’ menyelamatkan uang rakyat?


Seperti yang saya katakan, tidak butuh gelar dan jabatan hebat untuk bisa mengkalkulasi secara cepat bahwa dengan kenaikan harga BBM maka imbasnya akan langsung ke semua aspek kehidupan. Harga transportasi naik, harga bahan makanan pun naik. Jangan dulu bicara mengenai harga baju dan perlengkapan sekunder lainnya. 


Bayangkan mereka yang hidupnya dibawah garis rata-rata. Terakhir sebelum kenaikan harga BBM diputuskan, saat saya berbelanja di pasar traditional, harga tahu putih ukuran besar sudah mencapai Rp. 3,000.- per buah. Saya belum tahu lagi berapa harganya sekarang setelah kenaikan harga BBM ini. Misalkan beli tahu, sayur, bumbu dapur, katakanlah rata-rata itu semua bisa didapatkan dengan Rp. 10,000.-. Untuk makan selama satu bulan paling tidak membutuhkan uang sejumlah Rp. 300,000.-. Tidak perlulah saya menambahkan hitungan gas, minyak goreng, beras, dll-nya. Apalagi untuk menyebutkan biaya transport bepergian, kebutuhan sekolah, alas kaki, ataupun baju…?


Kemudian, dengan 'pintarnya' pemerintah mengalokasikan dana subsidi tersebut ke ‘proyek’ BLSM. Yang pernah saya baca di internet mengenai ‘balsem’ ini adalah berjumlah Rp. 150,000/bulan, dan di-klaim setiap empat bulan sekali. Artinya biaya hidup untuk orang miskin adalah Rp. 600,000/4 bulan.


Apakah bisa diterima dengan logika angka tersebut..?


Apakah BLSM dengan anggaran yang dibudgetkan sampai trilyunan rupiah itu sudah tepat perhitungannya dan juga bisa tiba tepat sasaran?


Dengan adanya berita-berita yang saya baca sekilas mengenai data penerima BLSM di kabupaten manalah tidak updated; atau ada yang tidak pantas menerima BLSM namun namanya tercantum, juga menambah daftar kendala  proses BLSM ini. Menimbulkan pertanyaan dan kesanksian baru bagi saya, bagaimana bisa pemerintah menetapkan angka budget BLSM jika datanya saja tidak benar…? 


Hingga akhirnya menuntun kembali ke pernyataan di reklame yang mencungkil saraf kepo saya; apakah tepat pernyataan ‘Selamatkan Uang Rakyat’? Karena kenyataannya rakyat mana yang merasa terbantu, ‘bisa benafas sedikit lebih lega’ dengan adanya kenaikan bbm ini? Ataukah mungkin lebih tepatnya diganti dengan ‘Selamatkan Kondisi Rekening Bank Kami’..??


1 komentar: