31 Desember 2011

Catatan di Penghujung Tahun

Desember 2011


Tanpa terasa sudah tiba lagi kita di hari-hari akhir tahun 2012. Waktu memang semakin cepat berlari. Ada begitu banyak hal yang sudah dialami; baik suka maupun duka, juga masih ada lebih banyak lagi hal-hal yang menjadi impian, yang masih terus diperjuangkan untuk dapat diraih.


Umumnya, menjelang pergantian tahun, kata 'resolusi' menjadi kosakata frekuensi tinggi yang menjadi bahan perbincangan orang-orang. Entah di sekolah, kampus, tempat kerja, tempat nongkrong, atau mungkin bahkan obrolan antar anggota keluarga di rumah. Selain itu juga akan ada saat mengenang segala yang Tuhan izinkan terjadi pada diri kita sepanjang tahun 2011 ini. Entah selanjutnya mengingat untuk mensyukuri atau menyesali, namun biasanya menjelang pergantian tahun, orang akan mengambil waktu untuk melihat sejenak ke belakang segala hal yang sudah dilaluinya.


Pada Sabtu 24 Desember malam, saya menghadiri Ibadah Malam Natal, dimana materi khotbahnya diambil dari Kitab Wahyu 22. Secara umum, kitab Wahyu menjabarkan mengenai akhir zaman. Malam itu pun kurang lebih merupakan peringatan bagi jemaat menjalani hidup di masa-masa akhir ini. Yang membekas di ingatan saya adalah penjabaran mengenai mereka yang gemar berbuat jahat dan tetap tidak memperdulikan ajaranNya, tertulis '...biarlah ia terus berbuat jahat; ... biarlah ia terus cemar.." 
Membuat saya berpikir, jika sang Alfa & Omega saja pada akhirnya mengeluarkan perkataan tersebut, menandakan betapa keras hatinya si pendosa ini, sehingga ia pada akhirnya 'dibiarkan' untuk berbuat jahat. Pada awalnya -seperti biasa yang terjadi sebagai respon pertama orang mendengar firman Tuhan, menujukan firman tersebut pada orang lain tanpa mengkoreksi diri sendiri- saya mengingat seorang ibu yang dalam pikiran saya saat ini sedang tetap berkeras hati untuk tidak melakukan kebaikan, padahal beliau mampu untuk melakukannya. Namun sepanjang sisa malam itu, sampai saat kami melakukan doa malam bersama keluarga, saya memasukkan firman tersebut ke dalam diri saya sendiri.
Apakah saya sudah cukup berbuat baik?
Apakah saya sudah cukup menahan godaan berbuat kejahatan? Bergosip? (hmmm...) Menghakimi orang? (kalau yang ini saya yakin sudah..;p) Mudah kesal pada orang yang tidak sependapat? (ehm...) Merasa pintar? (aaaw...) 
Apakah saya sudah sungguh-sungguh melepaskan segala sakit hati dan mungkin juga dendam yang saya rasakan dan memaafkan dengan setulus-tulusnya pada mereka yang istilahnya telah menzolimi saya?


Berangkat dari itu, tanpa berani menyatakan bahwa saya memiliki resolusi untuk tahun 2012 ini, saya pun memutuskan bahwa saya akan mencoba untuk tetap mencoba lebih kuat lagi, menjadi orang 'baik', yang seturut dengan kehendak Tuhan.
God help me, please...


amin

09 Oktober 2011

Date "1"


Today is July 1. I started this day remembering things that happened on July 1 about 8 years ago, then I realized that actually I have some noted experiences with 'date 1'.

July 1, 2001. It was Sunday. I just got back from church, and there was a guy, which I like, called me. He asked me to accompany him while he's doing some stuffs in the office. I was very glad having that invitation. But unfortunately, I already had a plan to go out with my sister and my friends, to celebrate birthday of two of them. We'd like to go to the playland, Dunia Fantasi.
The next day I came to the office, I got news that this guy just started the relationship with another girl from my division, just yesterday.
I was shock. I kept thinking for a while, that maybe if I had just said yes and came to accompany that guy, maybe I was the one who'd be his girlfriend...

June 1, 2004.
After hang out together for about 6 months, there was a guy who told me he loved me. Well... For 4 years this date had been a special date for me..:) We had our anniverssary every june 1. I knew from the start that the relation would be not easy, since he's younger than me. Plus, he was my student in sunday school for teenager couple years before. But as the time goes, (4 years,please!), finally I'd open my heart to him entirely. Until the day came when we had to break up for the reason that we'd been known from the start (his mother still didn't like me), I came to the conclusion, that actually I am the most stupid woman in the world.. I'd knew it from the start, still I went with the flow and fell in love with him; open my heart for him; and the worst was, I -finally- thinking about get married with him.. If I can chose the song to represent story about my relation, it's "I Know Him So Well". Even my brother in law feels sorry for my ex, not became a man yet..
Ok, the day we broke up wasn't 1, it's 7.. But anyway, actually I'm still having my broken heart with me until now..:((

And guess what? Starting the day with those thought in my mind, I was shocked with another bad news that affected me n' some of my close friends in the office.. One of my friends is going to leave us next month..:(
I feel sad for losing him. I feel sad for my company for loosing him. He's not the wisest one, yes.. But he's absolutely the smartest one. Not only in our team, our division, but if I could be honest, he is the smartest employee in my company...:((

Based on those 3 stories above, I just feel to write about date 1. I just hope that maybe the next 'memorable' date 1 that worth to be noted, will be the brighter, happy day for me.


#July 01, 2009#

SAYA BUKAN FEMINIST

‘Semua laki-laki pada dasarnya sama: BANGSAT!!’

Jauh sejak zaman dahulu kala, perempuan seolah-olah menjadi warga kelas dua di muka bumi ini. Bahkan di alkitab pun, pada zaman dulu perhitungan banyaknya orang diambil dari jumlah laki-laki yang ada, bukan dari secara aktual jumlah manusia yang ada (perempuan, anak-anak dan laki-laki). Seiring perkembangan zaman, ditambah pula dengan mencuatnya issue emansipasi wanita, maka semakin banyak muncul perempuan-perempuan dengan tingkah polah masing-masing yang mewarnai ragam cerita di dunia ini.

Sejujurnya, saya sendiri bukanlah termasuk perempuan yang benar-benar secara ekstrim menjunjung emansipasi wanita. Dalam arti, saya menyetujui bahwa perempuan membutuhkan persamaan hak untuk berkarya. Namun pada beberapa hal, tidak bisa disangkal kalau perempuan memang masih membutuhkan laki-laki. Jujur saja, bahkan di era millenium ini pun masih banyak kok perempuan yang mengharapkan kaum laki-laki berbaik hati menawarkan tempat duduknya di dalam bus yang penuh sesak. Sering terjadi saat perempuan membawa tentengan yang berat maka akan segera dialihkan ke laki-laki yang menemaninya untuk membawa tentengan tersebut. See? Ini membuktikan bahwa sehebat apa pun perempuan, tetap membutuhkan laki-laki, terutama jika pada situasi yang mengandalkan fisik. Coba saja, ada berapa banyak perempuan yang bekerja sebagai kuli bangunan? Tukang gali kubur? Tukang sampah? Memang ada, -apalagi dengan kondisi perekonomian masa kini yang semakin menuntut kalau mau makan ya harus kerja, apapun kerjaannya- tapi berapa banyak? Jika dihitung secara persen, berapa persen perempuan yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kasar yang biasanya dilakukan laki-laki, dibanding jumlah keseluruhan perempuan yang ada di muka bumi ini?

Berbicara mengenai kebutuhan perempuan akan laki-laki dalam hidupnya. Sejak kecil, saya sebenarnya sangat menginginkan sosok kakak laki-laki dalam hidup saya. Karena meskipun masih sekolah di SD, saya cukup mengerti bahwa keberadaan seorang saudara laki-laki pasti akan melindungi saya. Kebetulan kakak laki-laki saya satu-satunya meninggal pada saat saya masih kecil. Kerinduan akan saudara laki-laki ini membuat saya senang membuka hubungan dengan laki-laki sebagai teman. Dan memang sejalan pertumbuhan umur saya, saya memiliki banyak sekali teman baik laki-laki.
Memasuki masa remaja, mulailah masa mengenal cinta monyet. Saya pun ikut-ikutan punya pacar waktu di SMP. Hubungan yang tidak berjalan lama, karena kemudian si dia mulai tertarik dengan perempuan lain. Well, saat itu –berdasarkan pengalaman dan yang saya lihat terjadi di sekitar saya- saya menarik pelajaran bahwa hubungan pacaran itu tidak enak. Sering kali hubungan baik sebagai teman yang sudah terbina sebelumnya, akhirnya kandas setelah putus pacaran, dan akhirnya kita kehilangan teman kita yang baik itu.

Sampai kelulusan SMA, saya tetap tidak menjalin hubungan pacaran dengan siapapun. Saat saya naksir seseorang, begitu hubungan kami mulai dekat maka saya akan segera merubah posisi dia di hati saya sebagai teman baik. Karena biasanya saya tidak mau kehilangan hubungan baik dengannya. Bahkan saya memiliki hubungan dengan seorang teman laki-laki dari SMP, sampai sekarang kami sama-sama sudah melewati usia seperempat abad, dimana orang-orang sekeliling saya menanyakan mengapa saya tidak pacaran –bahkan menikah- dengan dia. Dan saya jelaskan bahawa saya tidak mau dan tidak akan pernah siap jika kehilangan hubungan baik yang sudah terbina ini, jika harus pacaran atau menikah dan dia melukai saya suatu hari nanti hingga membuat saya sakit hati. Kembali ke zaman SMP-SMA, apalagi dalam pikiran saya adalah, pacaran masa sekolah masih jauh sekali dari perkawinan. Maka saya baru akan berpacaran kalau memang sudah mencapai umur yang jika memang hubungannya serius bisa lanjut ke perkawinan.

Satu hal lagi muncul. Karena banyaknya teman laki-laki yang dekat dengan saya, maka cerita-cerita lelaki pun sering mewarnai hubungan saya dan teman-teman. Again, dari hal-hal yang terjadi di sekitar, saya kembali menyimpulkan bahwa ’laki-laki itu sangat baik selama dia adalah teman’. Mengapa? Karena saat kamu menjadi pacar bahkan mungkin istri, yang namanya laki-laki, akan ada satu masa dimana dia akan mengkhianati kamu. Entah dengan alasan selingan, iseng, sampai yang ’just happened’. Dan pengkhianatan itu tidak akan pernah kamu alami kalau kamu berteman baik. Kamu tetap akan merasakan diperhatikan, disayangi, juga diatur (sometimes), dan hal-hal lain yang dirasakan kalau kamu pacaran, termasuk sentuhan fisik yang bukan bersifat eros kecuali pengkhianatan.
Alasan ini pulalah yang membuat saya memutuskan untuk tidak akan pernah menikah satu hari nanti. Walaupun saya pernah juga pacaran setelah lulus SMA, namun kebanyakan itu pun juga saya sangat berhati-hati menjaga hati saya. Untuk tidak kebablasan really- really fall in love with my boy friend, no matter how nice he was. Begitu memulai satu hubungan saya secara otomatis menyiapkan diri untuk perpisahan. Dengan cara ini saya bisa menjaga hati saya dari sedih dan sakit hati yang berkepanjangan.

Memasuki masa dewasa, semakin banyak hal-hal yang terjadi di sekitar dan tidak luput dari pengamatan saya. Walaupun segelintir, sejujurnya saya pun menemukan contoh-contoh nyata laki-laki yang sangat-sangat baik dan mencintai pasangannya dengan sempurna. Salah seorang laki-laki yang saya anggap sebagai abang mengatakan, ’pada dasarnya kita harus dekat dan takut akan Tuhan.’ Dia mengakui bahwa sebagai laki-laki beristri, godaan memang pasti akan datang. Dan sosok baik ini mengakui, bahwa dia pun pernah hampir tergoda, namun kembali lagi: karena dia takut akan Tuhan maka dia segera menyadari bahwa dia harus mundur. And I trusted him. But.., frankly speaking, how many men out there just happen to be like him? Benar-benar membutuhkan seseorang yang sangat-sangat taat beribadah dan takut akan Tuhan untuk mendapatkan pasangan hidup yang tidak akan pernah mengkhianatimu??

Selanjutnya akhirnya saya pun menemukan seseorang yang akhirnya berani mengutarakan perasaannya untuk mengajak saya pacaran. Dia mengambil waktu yang tepat saat ’nembak’ saya. Karena saat itu pun saya benar-benar sedang menikmati kebersamaan dengan dia, selama kurang lebih enam bulan kami dapat dikatakan setiap hari jalan bersama. Terus terang, alasan pertama saya menerima dia bukan sepenuhnya karena cinta. Saya yang memang sangat menyayangi dia dari sebelumnya, pada awalnya hanya takut mengecewakan dia jika saya menolak cintanya. Bukan alasan yang baik untuk memulai suatu hubungan, right? Saya pun memutuskan untuk mencoba menjalani tahapan baru dari hubungan kami berdua, tetap dengan rumusan ’menjaga hati’ seperti yang biasa saya lakukan. Seperti biasanya orang berpacaran maka kami pun –yang memang sudah sering menghabiskan waktu bersama- semakin menambah jumlah waktu yang dihabiskan bersama. Ada saat dimana kami berselisih, bahkan bertengkar hebat, tapi kami juga tetap saling menyayangi. Pokoknya seperti pasangan pacaran lainnya, demikian juga kami.

Hingga di suatu hari dia menanyakan hal yang mengejutkan saya. Dia bertanya apa yang saya takuti dari dia. Apa yang ’menahan’ saya. Walaupun saya menjawab semuanya baik-baik saja, namun dia mengatakan bahwa dia merasa seolah-olah sedang berbincang dan menghabiskan waktu bersama saya sambil tertawa dan sebagainya.. tapi saya tidak pernah melangkah terlalu jauh dari teralis besi yang sewaktu-waktu akan menjadi tempat berlindung saya jika terjadi apa-apa, dan saya tidak membiarkan dia untuk masuk ke teralis besi itu. Saya hanya membiarkan dia melihat segala sesuatu isinya, menceritakan semua asal-usul isi dari teralis itu, tapi dia tidak boleh masuk, bahkan sekedar untuk menjulurkan tangan ke dalam teralis itu. Saya menyadari bahwa dia menyadari sekalipun saya sangat menyayanginya namun saya masih belum mempercayai dia.Walaupun pada percakapan malam itu dia tidak mendapatkan jawaban apa-apa, tapi dia berhasil membuat saya berpikir.
Pelan-pelan, sesuai perumpamaannya, maka saya pun mulai berani melangkah jauh dari teralis saya dan bahkan mengajak dia masuk mengunjunginya, dan secara pasti akhirnya saya menyadari bahwa saya mulai mencintainya.

Saya pun tiba pada fase dimana saya memutuskan bahwa suatu hari nanti saya mau menikah dengan orang yang sangat saya cintai hingga memampukan saya memiliki hati seluas samudera; artinya saya akan mampu untuk selalu memaafkan dan menerima dia kembali. Saya memang belum menetapkan bahwa saya akan menikah dengan pacar saya, kami belum berpikir sampai sejauh itu. Walaupun kebersamaan kami ternyata memampukan saya menemukan kenyamanan bersandar pada lengan laki-laki, menemukan kenyamanan berdampingan sampai merasakan kehangatan suhu tubuh lelaki di samping saya, hal-hal yang memungkinkan akan selalu ada dalam setiap perkawinan.

Yang lucunya adalah hubungan saya dengan pacar pun akhirnya mengalami hal yang sudah saya takutkan sejak kecil. Dengan alasan ’just happenned’, dia mengkhianati saya. Dan yang lebih lucunya lagi, saya ’berhasil’ memaafkan dia! Saya menerima dia seperti tidak ada apa-apa yang terjadi yang salah di antara kami. Saya memaklumi keadaannya, dan tetap melanjutkan hubungan dengannya. Saya, wanita dewasa yang dari kecil menabukan pengkhianatan; yang sekian lama dikenal oleh orang-orang sekitar sebagai perempuan yang tidak terlalu memusingkan urusan laki-laki; yang menyimpulkan bahwa yang terbaik dari laki-laki adalah saat kita menjadi sahabatnya; yang menerima cinta seseorang pada awalnya hanya karena kasihan; pada akhirnya menjadi wanita BODOH yang jatuh cinta pada lelaki yang telah mengkhianati saya dan bahkan menerima sang lelaki kembali setelah dia melakukan kesalahan yang sama lebih dari satu kali…!!

Meskipun kami berhasil ’mengulang kembali dari awal’ hubungan kami, namun setelah sekian lama terasa akhirnya kebiasaan pun berubah. Semakin banyak hari yang terlewati tanpa sempat berkomunikasi karena kesibukan kerja masing-masing; semakin tinggi frekwensi percakapan di telepon yang berdurasi singkat karena pacar yang selalu saja sedang sibuk saat dihubungi –walaupun kadang ’kesibukannya’ hanya berupa nonton film lama di DVD, yang nota bene sebetulnya bisa saja di-pause dulu kalau mau mengobrol-, semakin sedikit karakter di sms yang terkirim sebagai jawaban dari sms saya; bahkan miscall yang kadang-kadang baru dibalas pada jam-jam normal orang tidur, misalnya jam 3 pagi atau 4 pagi.
Bingung? Tentu.. Namun saya mencoba untuk tidak terlalu memikirkan hal yang bukan-bukan, tidak mau menjadi seperti perempuan-perempuan yang terlalu sensitif atau parno.
Hingga satu senja saya mengirimkan sms ’I miss u..’ dan menerima balasan sekitar jam 3 pagi ke-esokan harinya, ’Ngapain kamu miss me, orang yang brengsek begini? Mending kamu cari lain aja..’ Insomnia yang memang sedang rajin menemani selama dua minggu terakhir langsung berbaik hati mendampingi saya semalaman suntuk itu, sampai saya tidak bisa tidur sama sekali. Beribu pikiran berebut masuk ke otak hingga saya merasa kesulitan menguraikan satu persatu. Jika memang dia sadar kalau tingkahnya belakangan ini menyebalkan, kenapa dilanjutkan dan bukannya justru merubahnya menjadi lebih baik? Jika memang dia sudah mau mengakhiri hubungan ini, kenapa tidak dibicarakan saja dan bukannya dengan cara menghindar yang terkadang melukai hati karena seolah melupakan banyak janji? Jika memang dia berpikir tidak akan mampu melampaui persoalan besar yang ada diantara kami –yang sebenarnya sudah ada sejak awal pertama kami pacaran- mengapa tidak diakuinya saja sehingga kami bisa mengambil keputusan dan mencari jalan keluar bersama-sama?
Akhirnya saya mengirimkan pesan kepadanya.. ’Hal yang wajar saya kangen dengan pacar saya… Tapi kalau dulu kamu berani ngomong waktu nembak saya, well at least show some respect to me, jangan dengan chicken way begini kamu sengaja bertingkah brengsek dan berpikir otomatis saya akan cari yang lain.’ Itu pun tidak dijawab. Sampai akhirnya kami menjadwalkan pertemuan untuk membicarakan ini. Dari situ terungkap bahwa tidak ada makna yang mendalam dari ucapan dan sms yang dikirimkannya, hanya saja kenyataannya saat ini dia sedang menikmati kesendirian.Sungguh jawaban yang sangat unthoughtful menurut saya. Bagaimana dia bisa menikmati kesendirian di saat dia kenyataannya memang ‘tidak sendiri’? Apakah tidak pernah terbersit dalam pikirannya bahwa pada saat-saat dia menikmati itu, saya sebagai pacarnya sedang dalam kondisi yang membutuhkan dia?

Semakin banyak laki-laki dewasa ini yang seolah melupakan ’panggilan’ menjadi seorang laki-laki. Dengan dalih bahwa perempuan sekarang yang mandiri, akhirnya mereka tidak terlalu memperhatikan pasangannya; yang paling sering terjadi adalah sering membiarkan pasangannya mengurus urusannya sendiri. Memang ada waktu-waktu dimana kita baik laki maupun perempuan membutuhkan privacy untuk mengurus sesuatu sendirian, atau lebih membutuhkan dampingan teman sesama jenis. Namun secara umum alangkah menyenangkan bagi perempuan untuk bisa didampingi pasangannya saat menghadiri suatu acara misalnya, atau sekedar menghabiskan waktu sambil menceritakan daily routine dan hal-hal lainnya. Di satu sisi, perempuan kadang tidak mau terlalu merepotkan dan terlihat seakan terlalu bergantung pada pasangannya sehingga mencoba mengambil langkah ‘sok mandiri’ ini, tanpa sadar bahwa langkah ini akan terus dipergunakan oleh laki-laki untuk merestui segala tindakannya di kemudian hari. ‘Win-win solution’ sungguh sulit diterapkan pada kebanyakan laki-laki masa sekarang ini.

Yang lebih tragisnya adalah, saya menerima alasan dan memaklumi kondisinya!
I really have no idea, apakah ini merupakan salah satu kutukan saya sebagai turunan Hawa karena telah menyeret Adam jatuh dalam dosa pada masa awal penciptaan dunia ini.. Karena sekalipun menyadari bahwa ini silly, toh saya tetap belum bisa melepaskannya. Dan sekalipun pemikiran ini membuat saya miris, tapi saya harus menerima bahwa memang perempuan membutuhkan laki-laki sekalipun dengan kesadaran penuh bahwa laki-laki dimanapun pada dasarnya adalah sama: mereka semua brengsek!


’Journal of JA. Masen-C’ (p. 251-261)

Friendship

Saya pernah menyinggung sedikit mengenai pertemanan dalam catatan terdahulu di bulan Juli lalu yang berjudul 'Kebersamaan'.
Bahwa karena kebersamaan di salah satu tempat dalam waktu tertentu, bisa membuat orang-orang jadi berteman. Banyak yang setelah berpisah dari kebersamaan tersebut otomatis juga jadi tidak berteman lagi, bahkan yang ekstrim mungkin juga akan saling melupakan dalam waktu yang tidak lama. Untuk yang lebih umum, akan tetap saling mengingat dan berteman, walaupun intensitas komunikasinya berkurang jauh. Yang lebih istimewa adalah mereka yang setelah terpisah dari satu komunitas, tetap melanjutkan pertemanan baik mereka kemanapun mereka melangkah. Dalam arti intensitas pertemuan, percakapan, bahkan bobot hal yang diperbincangkan pun tidak berubah.

Hubungan pertemanan itu sendiri ada banyak typenya. Ada sahabat, ada teman baik, ada teman dekat, ada teman nongkrong, ada teman lama, ada juga type yang lebih detail menjelaskan dimana mereka memulai pertemanan mereka; teman paduan suara, teman kursus, teman kampus, teman kantor. Diantara semuanya itu banyak yang berstatus sebagai 'teman biasa'. Karena untuk kategori teman dekat, teman baik dan sahabat, pastinya secara emosional pertemanannya berbeda dengan teman-teman biasa yang termasuk dalam berbagai type teman itu.

Mungkin saja teman baik dan sahabat kita adalah teman yang dulunya teman sekolah; atau teman paduan suara; atau teman kursus, bahkan mungkin temannya teman kantor kita, yang akhirnya menjadi teman baik kita.
Karena hubungan seperti itu memang tidak ditentukan dari kuantitas pertemuan atau kebersamaan kita dengan teman tersebut. Sekalipun jumlah pertemuan tidak sampai 5x dalam setahun, hubungan pertemanan yang sudah mencapai tahapan tersebut tetap tidak akan lekang oleh waktu.

Dilain sisi, pertemanan yang jumlah pertemuannya bisa setiap hari atau setiap minggu, atau seminggu dua kali, itu pun tidak lantas secara otomatis dinobatkan bahwa mereka bersahabat, walau tidak menutup kemungkinan memang bahwa akan tercipta hubungan teman baik dan persahabatan dari sini.

Banyak orang tidak percaya hubungan persahabatan antara laki & perempuan. Tapi saya percaya. Bukan berarti tidak akan ada godaan untuk menjadikan hubungan persahabatan itu menjadi hubungan kekasih. Saya yakin akan ada satu saat (atau bahkan mungkin lebih dari satu kali) dimana tumbuh perasaan sayang yang berbeda yang memungkinkan hubungan persahabatan itu menjadi kekasih. Banyak contoh membuktikan. Namun keinginan untuk menjaga persahabatan itu sehingga menahan hubungan tidak melangkah menjadi sepasang kekasih, juga ada ditemukan. Bukan karena perbedaan status, perbedaan agama, atau mungkin perbedaan umur yang membuat mereka memilih tetap bersahabat, karena sesungguhnya segalanya telah lancar kalau pun mereka memutuskan untuk menikah. Yah, walaupun tidak banyak bisa ditemukan contoh kasus seperti ini. Namun saya ingin mematahkan anggapan umum bahwa tidak akan mungkin terjalin persahabatan antara laki-laki dan perempuan.

Persahabatan memang tidak akan terjadi secara instant, tidak seperti teman dekat. Seorang bisa dengan mudah mendapatkan teman dekat saat ia masuk ke dalam satu tempat atau komunitas baru. Namun apakah teman dekat ini lantas dapat dikatakan sahabat? Tidak, menurut saya. Mereka harus melalui ujian yang hasilnya hanya bisa ditentukan oleh waktu.

Mudah mendapatkan teman dekat dari antara 'teman-teman biasa' kita. Tapi mendapatkan sahabat, apalagi sahabat sejati dimana kita bisa benar-benar saling mengerti dan mendukung satu sama lain, hmmm...., hanya proses yang bisa menghasilkannya.. Proses yang tidak mudah dilalui. Mereka yang bersahabat, bohong besar kalau tidak pernah terjadi pertengkaran hebat diantara mereka. Mereka yang bersahabat, pasti pernah saling marah, bahkan mungkin sempat saling membenci, saling mengutarakan perasaan tidak dalam nada suara yang baik, bahkan mungkin saling memarahi. Bagaimana mereka menyelesaikan, belajar dari situasi dan tetap saling mengerti setelah menyelesaikan pertengkaran (-pertengkaran) hebat itulah yang memproses mereka menjadi sahabat. Teman boleh ribuan orang; teman dekat bisa puluhan atau mencapai seratus orang; namun teman baik atau sahabat tidak akan banyak jumlahnya sepanjang umur hidup manusia.

Berbicara mengenai pertemanan, saya pribadi adalah seseorang yang berpendirian bahwa 'Saya TIDAK harus berteman dekat dengan semua orang'. Mungkin terdengar sombong ya..?? Tapi saya menganggap, jika saya memaksakan diri berteman dengan orang yang misalnya negative thingking selalu; orang yang tidak bisa membawa pengaruh positif pada saya; saya akan mengalami kemunduran kepribadian. Mungkin saya memang egois, maaf kalau begitu. Saya sadar bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun jika saya bertemu orang yang sifat jeleknya kebetulan banyak yang tidak bisa saya tolerir, saya akan secara otomatis membatasi diri untuk tidak terlibat terlalu dekat dengan orang itu secara emosional. Tidak menutup kemungkinan saya akan bisa jalan bareng beramai-ramai (saya tidak akan pernah mau jalan berduaan saja), namun saya tetap tidak akan pernah menganggapnya lebih dari seorang teman biasa.

Baru saja saya mendapatkan nice quote, yang katanya merupakan salah satu ajaran Sidharta Gautama: An insincere and evil friend is more to be feared than a wild beast; a wild beast may wound your body, but an evil friend will wound your heart. Bukan berarti saya lebih memilih bertemu binatang buas daripada bertemu teman-teman saya. Namun quote ini mengingatkan saya kembali, bahwa memang tidak mudah menjadi seorang teman, apalagi jika menjadi seorang teman dekat, teman baik atau sahabat.. Karena banyak kali justru terjadi, teman dekat atau teman baik, karena perbedaan kepentingan suka tanpa sadar (atau sadarkah?) saling menyakiti. Dengan melakukan tindakan yang kita tahu membuat teman baik kita kesal, itu bisa disebut menyakiti, bukan? (Untungnya saya memang bukan orang yang termasuk cepat mengaku-ngaku sebagai teman dekat/teman baik/sahabat seseorang).

*nov21,'09~10.15pm*

Kebersamaan

Hari ini, 17 Juli 2009 meninggalkan catatan tersendiri untuk beberapa teman2 dan saya sendiri.
Pertama, kami kembali 'melepaskan' salah seorang dari team kami untuk meraih sukses yang lebih baik, yang sayangnya mungkin tidak dapat diraihnya jika masih tetap berada bersama-sama dengan kami. Malam ini merupakan kali ke-3 team kami 'ditinggalkan' oleh orang-orang yang sangat berarti, baik dari sisi pekerjaan maupun jika dipandang dari pertemanan. Tidak bisa disangkal bahwa sebagian besar dari kami, bahkan mungkin semuanya, merasa berat dengan perpisahan malam ini. Karena kami tau bahwa sekalipun hubungan pertemanan tidak berhenti malam ini, namun pasti tetap akan terasa perbedaan tanpa kehadiran orang-orang yang biasanya ada bersama-sama dengan kami.

Well, people come and go.. Dan hal itulah yang membuat kita kaya. Karena dengan bertemu banyak orang dan menjalin pertemanan dengan banyak orang, semakin menambah wawasan kita untuk mencoba memahami dan menghadapi berbagai karakter teman-teman kita.

Dalam perjalanan pulang menuju rumah, saya menemukan diri saya memikirkan tentang kebersamaan. Bahwa kebersamaan itu ternyata adalah satu hal yang ringkih..

Manusia bertemu dan menjalin hubungan dengan orang-orang disekitarnya, yang jika dirasa cocok maka akan lebih terjalin lagi hubungan yang lebih kuat, hingga pada akhirnya tanpa disadari terbentuk satu kebersamaan. Namun tidak ada yang pernah bisa menjamin bahwa kebersamaan itu akan berlangsung selamanya.

Kebersamaan sebagai teman-teman sekolah, akan terpisah saat kita meninggalkan sekolah tersebut. Kebersamaan di tempat kerja, akan terpisah jika ada yang pensiun, atau pindah pekerjaan untuk sesuatu yang lebih baik. Walaupun pertemanan tidak terputus, namun tetap saja kebersamaan itu sudah tidak ada, atau berkurang.

Demikian juga dengan mereka yang berpacaran. Bagi mereka yang tidak berhasil meneruskan hubungan ke jenjang pernikahan (dengan berbagai alasan), tentunya akan menghentikan kebersamaan mereka. Pada banyak kasus, masih ada yang berhasil untuk menjaga pertemanan mereka. Namun, jika salah satu sudah langsung menemukan pacar baru dalam waktu yang tidak lama setelah putusnya hubungan pacaran -jika alasan perpisahan adalah bukan karena rasa yang ada antara mereka berdua sudah habis, tapi lebih kepada hal2 diluar kekuasaan mereka- apakah mungkin, pihak yang belum menemukan 'orang baru' bisa melanjutkan pertemanan? I don't think so. Maka ini merupakan contoh kebersamaan yang benar-benar hancur total.

Anyway, kembali pada topik kebersamaan. Dalam siklus kehidupan ada kelahiran, pernikahan, kematian. Artinya, ada yang datang dan ada yang pergi selalu dalam hidup kita. Jika kita pada posisi meninggalkan, maka satu saat kita akan berada pada posisi ditinggalkan.
Dan, kebersamaan memang selalu akan terpisah.

So, nikmatilah kebersamaan yang kamu miliki saat ini, dimanapun kamu berada, selama masih bisa dinikmati. Kita tidak akan pernah tahu, sampai kapan kita masih akan terus 'bersama'.


*inspired by today's experiences with 'DSP' and 'DPW'*

Que sera-sera

Having my time being alone this eve, I'm looking back to the years I'd passed.. And finally it came to the moment when I was really just a kid, not even 4years yet. One thing I never forget about my childhood, my mom used to sing to my sister n' me, or sometimes she just put the radio/tape on, and sang along with it. She liked to translate the songs to us and explain the meaning of them while she was singing.

I just remembered one of the songs which I like much.. At that time I imagined it was julie andrews singing this song..


When I was just a little girl, I asked my mother, 'what will I be? Will I be pretty? Will I be rich?' Here's what she said to me:

Que sera-sera, whatever will be, will be
The future's not ours to see, que sera-sera; what will be, will be

When I grew up and fell in love, I asked my sweetheart 'what life's ahead? Will we have rainbow day after day?' Here's what my sweetheart say:

Que sera-sera, whatever will be, will be
The future's not ours to see, que sera-sera, what will be, will be...



I leave the 3rd verse,coz I haven't got children on my own right now..
What I'm thinking about this song is the truth in it is really amazing.. We never know our future.
We never know or imagined what we'd become now.. Years ago, we never know that maybe we can be one of the employee of where we're working now. We never know that we will be friends with new people that we met in any occasions, maybe. And when people ask 'What do you think u'll be in the next 5 years?' What we can say is what we hope we'll be, actually. What we'd like to be... But nobody knows for sure that the answer is right or not..
And what I just -accidentally- found out that actually this is also the safe answer you can give if you get question that u don't know the answer, or maybe when u don't even care for the answer. People won't blame u when u say nobody knows the future. All are just prediction, estimation, but not the absolute situation, right...??

Having that last thought crossed in my mind, I tell myself that starting now I must be aware to people who says 'Que sera-sera' for my questions.. I really have to know the meaning of it when people say it; either one she/he gives me the wise answer, or she/he just -indeed- don't care about what I ask..

*June 15, 2009*