09 Oktober 2011

SAYA BUKAN FEMINIST

‘Semua laki-laki pada dasarnya sama: BANGSAT!!’

Jauh sejak zaman dahulu kala, perempuan seolah-olah menjadi warga kelas dua di muka bumi ini. Bahkan di alkitab pun, pada zaman dulu perhitungan banyaknya orang diambil dari jumlah laki-laki yang ada, bukan dari secara aktual jumlah manusia yang ada (perempuan, anak-anak dan laki-laki). Seiring perkembangan zaman, ditambah pula dengan mencuatnya issue emansipasi wanita, maka semakin banyak muncul perempuan-perempuan dengan tingkah polah masing-masing yang mewarnai ragam cerita di dunia ini.

Sejujurnya, saya sendiri bukanlah termasuk perempuan yang benar-benar secara ekstrim menjunjung emansipasi wanita. Dalam arti, saya menyetujui bahwa perempuan membutuhkan persamaan hak untuk berkarya. Namun pada beberapa hal, tidak bisa disangkal kalau perempuan memang masih membutuhkan laki-laki. Jujur saja, bahkan di era millenium ini pun masih banyak kok perempuan yang mengharapkan kaum laki-laki berbaik hati menawarkan tempat duduknya di dalam bus yang penuh sesak. Sering terjadi saat perempuan membawa tentengan yang berat maka akan segera dialihkan ke laki-laki yang menemaninya untuk membawa tentengan tersebut. See? Ini membuktikan bahwa sehebat apa pun perempuan, tetap membutuhkan laki-laki, terutama jika pada situasi yang mengandalkan fisik. Coba saja, ada berapa banyak perempuan yang bekerja sebagai kuli bangunan? Tukang gali kubur? Tukang sampah? Memang ada, -apalagi dengan kondisi perekonomian masa kini yang semakin menuntut kalau mau makan ya harus kerja, apapun kerjaannya- tapi berapa banyak? Jika dihitung secara persen, berapa persen perempuan yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kasar yang biasanya dilakukan laki-laki, dibanding jumlah keseluruhan perempuan yang ada di muka bumi ini?

Berbicara mengenai kebutuhan perempuan akan laki-laki dalam hidupnya. Sejak kecil, saya sebenarnya sangat menginginkan sosok kakak laki-laki dalam hidup saya. Karena meskipun masih sekolah di SD, saya cukup mengerti bahwa keberadaan seorang saudara laki-laki pasti akan melindungi saya. Kebetulan kakak laki-laki saya satu-satunya meninggal pada saat saya masih kecil. Kerinduan akan saudara laki-laki ini membuat saya senang membuka hubungan dengan laki-laki sebagai teman. Dan memang sejalan pertumbuhan umur saya, saya memiliki banyak sekali teman baik laki-laki.
Memasuki masa remaja, mulailah masa mengenal cinta monyet. Saya pun ikut-ikutan punya pacar waktu di SMP. Hubungan yang tidak berjalan lama, karena kemudian si dia mulai tertarik dengan perempuan lain. Well, saat itu –berdasarkan pengalaman dan yang saya lihat terjadi di sekitar saya- saya menarik pelajaran bahwa hubungan pacaran itu tidak enak. Sering kali hubungan baik sebagai teman yang sudah terbina sebelumnya, akhirnya kandas setelah putus pacaran, dan akhirnya kita kehilangan teman kita yang baik itu.

Sampai kelulusan SMA, saya tetap tidak menjalin hubungan pacaran dengan siapapun. Saat saya naksir seseorang, begitu hubungan kami mulai dekat maka saya akan segera merubah posisi dia di hati saya sebagai teman baik. Karena biasanya saya tidak mau kehilangan hubungan baik dengannya. Bahkan saya memiliki hubungan dengan seorang teman laki-laki dari SMP, sampai sekarang kami sama-sama sudah melewati usia seperempat abad, dimana orang-orang sekeliling saya menanyakan mengapa saya tidak pacaran –bahkan menikah- dengan dia. Dan saya jelaskan bahawa saya tidak mau dan tidak akan pernah siap jika kehilangan hubungan baik yang sudah terbina ini, jika harus pacaran atau menikah dan dia melukai saya suatu hari nanti hingga membuat saya sakit hati. Kembali ke zaman SMP-SMA, apalagi dalam pikiran saya adalah, pacaran masa sekolah masih jauh sekali dari perkawinan. Maka saya baru akan berpacaran kalau memang sudah mencapai umur yang jika memang hubungannya serius bisa lanjut ke perkawinan.

Satu hal lagi muncul. Karena banyaknya teman laki-laki yang dekat dengan saya, maka cerita-cerita lelaki pun sering mewarnai hubungan saya dan teman-teman. Again, dari hal-hal yang terjadi di sekitar, saya kembali menyimpulkan bahwa ’laki-laki itu sangat baik selama dia adalah teman’. Mengapa? Karena saat kamu menjadi pacar bahkan mungkin istri, yang namanya laki-laki, akan ada satu masa dimana dia akan mengkhianati kamu. Entah dengan alasan selingan, iseng, sampai yang ’just happened’. Dan pengkhianatan itu tidak akan pernah kamu alami kalau kamu berteman baik. Kamu tetap akan merasakan diperhatikan, disayangi, juga diatur (sometimes), dan hal-hal lain yang dirasakan kalau kamu pacaran, termasuk sentuhan fisik yang bukan bersifat eros kecuali pengkhianatan.
Alasan ini pulalah yang membuat saya memutuskan untuk tidak akan pernah menikah satu hari nanti. Walaupun saya pernah juga pacaran setelah lulus SMA, namun kebanyakan itu pun juga saya sangat berhati-hati menjaga hati saya. Untuk tidak kebablasan really- really fall in love with my boy friend, no matter how nice he was. Begitu memulai satu hubungan saya secara otomatis menyiapkan diri untuk perpisahan. Dengan cara ini saya bisa menjaga hati saya dari sedih dan sakit hati yang berkepanjangan.

Memasuki masa dewasa, semakin banyak hal-hal yang terjadi di sekitar dan tidak luput dari pengamatan saya. Walaupun segelintir, sejujurnya saya pun menemukan contoh-contoh nyata laki-laki yang sangat-sangat baik dan mencintai pasangannya dengan sempurna. Salah seorang laki-laki yang saya anggap sebagai abang mengatakan, ’pada dasarnya kita harus dekat dan takut akan Tuhan.’ Dia mengakui bahwa sebagai laki-laki beristri, godaan memang pasti akan datang. Dan sosok baik ini mengakui, bahwa dia pun pernah hampir tergoda, namun kembali lagi: karena dia takut akan Tuhan maka dia segera menyadari bahwa dia harus mundur. And I trusted him. But.., frankly speaking, how many men out there just happen to be like him? Benar-benar membutuhkan seseorang yang sangat-sangat taat beribadah dan takut akan Tuhan untuk mendapatkan pasangan hidup yang tidak akan pernah mengkhianatimu??

Selanjutnya akhirnya saya pun menemukan seseorang yang akhirnya berani mengutarakan perasaannya untuk mengajak saya pacaran. Dia mengambil waktu yang tepat saat ’nembak’ saya. Karena saat itu pun saya benar-benar sedang menikmati kebersamaan dengan dia, selama kurang lebih enam bulan kami dapat dikatakan setiap hari jalan bersama. Terus terang, alasan pertama saya menerima dia bukan sepenuhnya karena cinta. Saya yang memang sangat menyayangi dia dari sebelumnya, pada awalnya hanya takut mengecewakan dia jika saya menolak cintanya. Bukan alasan yang baik untuk memulai suatu hubungan, right? Saya pun memutuskan untuk mencoba menjalani tahapan baru dari hubungan kami berdua, tetap dengan rumusan ’menjaga hati’ seperti yang biasa saya lakukan. Seperti biasanya orang berpacaran maka kami pun –yang memang sudah sering menghabiskan waktu bersama- semakin menambah jumlah waktu yang dihabiskan bersama. Ada saat dimana kami berselisih, bahkan bertengkar hebat, tapi kami juga tetap saling menyayangi. Pokoknya seperti pasangan pacaran lainnya, demikian juga kami.

Hingga di suatu hari dia menanyakan hal yang mengejutkan saya. Dia bertanya apa yang saya takuti dari dia. Apa yang ’menahan’ saya. Walaupun saya menjawab semuanya baik-baik saja, namun dia mengatakan bahwa dia merasa seolah-olah sedang berbincang dan menghabiskan waktu bersama saya sambil tertawa dan sebagainya.. tapi saya tidak pernah melangkah terlalu jauh dari teralis besi yang sewaktu-waktu akan menjadi tempat berlindung saya jika terjadi apa-apa, dan saya tidak membiarkan dia untuk masuk ke teralis besi itu. Saya hanya membiarkan dia melihat segala sesuatu isinya, menceritakan semua asal-usul isi dari teralis itu, tapi dia tidak boleh masuk, bahkan sekedar untuk menjulurkan tangan ke dalam teralis itu. Saya menyadari bahwa dia menyadari sekalipun saya sangat menyayanginya namun saya masih belum mempercayai dia.Walaupun pada percakapan malam itu dia tidak mendapatkan jawaban apa-apa, tapi dia berhasil membuat saya berpikir.
Pelan-pelan, sesuai perumpamaannya, maka saya pun mulai berani melangkah jauh dari teralis saya dan bahkan mengajak dia masuk mengunjunginya, dan secara pasti akhirnya saya menyadari bahwa saya mulai mencintainya.

Saya pun tiba pada fase dimana saya memutuskan bahwa suatu hari nanti saya mau menikah dengan orang yang sangat saya cintai hingga memampukan saya memiliki hati seluas samudera; artinya saya akan mampu untuk selalu memaafkan dan menerima dia kembali. Saya memang belum menetapkan bahwa saya akan menikah dengan pacar saya, kami belum berpikir sampai sejauh itu. Walaupun kebersamaan kami ternyata memampukan saya menemukan kenyamanan bersandar pada lengan laki-laki, menemukan kenyamanan berdampingan sampai merasakan kehangatan suhu tubuh lelaki di samping saya, hal-hal yang memungkinkan akan selalu ada dalam setiap perkawinan.

Yang lucunya adalah hubungan saya dengan pacar pun akhirnya mengalami hal yang sudah saya takutkan sejak kecil. Dengan alasan ’just happenned’, dia mengkhianati saya. Dan yang lebih lucunya lagi, saya ’berhasil’ memaafkan dia! Saya menerima dia seperti tidak ada apa-apa yang terjadi yang salah di antara kami. Saya memaklumi keadaannya, dan tetap melanjutkan hubungan dengannya. Saya, wanita dewasa yang dari kecil menabukan pengkhianatan; yang sekian lama dikenal oleh orang-orang sekitar sebagai perempuan yang tidak terlalu memusingkan urusan laki-laki; yang menyimpulkan bahwa yang terbaik dari laki-laki adalah saat kita menjadi sahabatnya; yang menerima cinta seseorang pada awalnya hanya karena kasihan; pada akhirnya menjadi wanita BODOH yang jatuh cinta pada lelaki yang telah mengkhianati saya dan bahkan menerima sang lelaki kembali setelah dia melakukan kesalahan yang sama lebih dari satu kali…!!

Meskipun kami berhasil ’mengulang kembali dari awal’ hubungan kami, namun setelah sekian lama terasa akhirnya kebiasaan pun berubah. Semakin banyak hari yang terlewati tanpa sempat berkomunikasi karena kesibukan kerja masing-masing; semakin tinggi frekwensi percakapan di telepon yang berdurasi singkat karena pacar yang selalu saja sedang sibuk saat dihubungi –walaupun kadang ’kesibukannya’ hanya berupa nonton film lama di DVD, yang nota bene sebetulnya bisa saja di-pause dulu kalau mau mengobrol-, semakin sedikit karakter di sms yang terkirim sebagai jawaban dari sms saya; bahkan miscall yang kadang-kadang baru dibalas pada jam-jam normal orang tidur, misalnya jam 3 pagi atau 4 pagi.
Bingung? Tentu.. Namun saya mencoba untuk tidak terlalu memikirkan hal yang bukan-bukan, tidak mau menjadi seperti perempuan-perempuan yang terlalu sensitif atau parno.
Hingga satu senja saya mengirimkan sms ’I miss u..’ dan menerima balasan sekitar jam 3 pagi ke-esokan harinya, ’Ngapain kamu miss me, orang yang brengsek begini? Mending kamu cari lain aja..’ Insomnia yang memang sedang rajin menemani selama dua minggu terakhir langsung berbaik hati mendampingi saya semalaman suntuk itu, sampai saya tidak bisa tidur sama sekali. Beribu pikiran berebut masuk ke otak hingga saya merasa kesulitan menguraikan satu persatu. Jika memang dia sadar kalau tingkahnya belakangan ini menyebalkan, kenapa dilanjutkan dan bukannya justru merubahnya menjadi lebih baik? Jika memang dia sudah mau mengakhiri hubungan ini, kenapa tidak dibicarakan saja dan bukannya dengan cara menghindar yang terkadang melukai hati karena seolah melupakan banyak janji? Jika memang dia berpikir tidak akan mampu melampaui persoalan besar yang ada diantara kami –yang sebenarnya sudah ada sejak awal pertama kami pacaran- mengapa tidak diakuinya saja sehingga kami bisa mengambil keputusan dan mencari jalan keluar bersama-sama?
Akhirnya saya mengirimkan pesan kepadanya.. ’Hal yang wajar saya kangen dengan pacar saya… Tapi kalau dulu kamu berani ngomong waktu nembak saya, well at least show some respect to me, jangan dengan chicken way begini kamu sengaja bertingkah brengsek dan berpikir otomatis saya akan cari yang lain.’ Itu pun tidak dijawab. Sampai akhirnya kami menjadwalkan pertemuan untuk membicarakan ini. Dari situ terungkap bahwa tidak ada makna yang mendalam dari ucapan dan sms yang dikirimkannya, hanya saja kenyataannya saat ini dia sedang menikmati kesendirian.Sungguh jawaban yang sangat unthoughtful menurut saya. Bagaimana dia bisa menikmati kesendirian di saat dia kenyataannya memang ‘tidak sendiri’? Apakah tidak pernah terbersit dalam pikirannya bahwa pada saat-saat dia menikmati itu, saya sebagai pacarnya sedang dalam kondisi yang membutuhkan dia?

Semakin banyak laki-laki dewasa ini yang seolah melupakan ’panggilan’ menjadi seorang laki-laki. Dengan dalih bahwa perempuan sekarang yang mandiri, akhirnya mereka tidak terlalu memperhatikan pasangannya; yang paling sering terjadi adalah sering membiarkan pasangannya mengurus urusannya sendiri. Memang ada waktu-waktu dimana kita baik laki maupun perempuan membutuhkan privacy untuk mengurus sesuatu sendirian, atau lebih membutuhkan dampingan teman sesama jenis. Namun secara umum alangkah menyenangkan bagi perempuan untuk bisa didampingi pasangannya saat menghadiri suatu acara misalnya, atau sekedar menghabiskan waktu sambil menceritakan daily routine dan hal-hal lainnya. Di satu sisi, perempuan kadang tidak mau terlalu merepotkan dan terlihat seakan terlalu bergantung pada pasangannya sehingga mencoba mengambil langkah ‘sok mandiri’ ini, tanpa sadar bahwa langkah ini akan terus dipergunakan oleh laki-laki untuk merestui segala tindakannya di kemudian hari. ‘Win-win solution’ sungguh sulit diterapkan pada kebanyakan laki-laki masa sekarang ini.

Yang lebih tragisnya adalah, saya menerima alasan dan memaklumi kondisinya!
I really have no idea, apakah ini merupakan salah satu kutukan saya sebagai turunan Hawa karena telah menyeret Adam jatuh dalam dosa pada masa awal penciptaan dunia ini.. Karena sekalipun menyadari bahwa ini silly, toh saya tetap belum bisa melepaskannya. Dan sekalipun pemikiran ini membuat saya miris, tapi saya harus menerima bahwa memang perempuan membutuhkan laki-laki sekalipun dengan kesadaran penuh bahwa laki-laki dimanapun pada dasarnya adalah sama: mereka semua brengsek!


’Journal of JA. Masen-C’ (p. 251-261)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar