24 April 2012

Paska Terindah dalam Hidupku

by: Eddie Ogan ~ Saduran dari email


Aku tidak akan pernah melupakan PASKAH tahun 1946. Saat itu, aku masih
berumur 14 tahun, adikku Ocy berumur 12 tahun dan kakakku Darlene 16 tahun.
Kami tinggal bersama Mama. Meskipun hidup kami pas-pasan, kami berempat tahu
apa yang kami lakukan. Papaku meninggal 5 tahun sebelumnya, meninggalkan
Mama seorang diri dengan 7 anak yang masih sekolah. Pada tahun 1946 itu,
kakak-kakakku perempuan telah menikah dan kakak-kakakku yang laki-laki sudah
meninggalkan rumah.

Sebulan sebelum PASKAH, pendeta di gereja kami mengumumkan bahwa akan ada
persembahan khusus PASKAH yang akan diberikan kepada sebuah keluarga miskin.
Dia meminta jemaatnya, tentu termasuk kami berempat, untuk menghemat uang
dan menyisihkannya untuk persembahan. Sesampainya di rumah, kami berempat
mendiskusikan tentang apa yang bisa kami perbuat. Kami memutuskan untuk
membeli 50 pound kentang untuk persediaan makanan selama 1 bulan. Ini
berarti menghemat uang  belanja kami sebesar $20 dan dapat kami sisihkan
untuk persembahan PASKAH itu.

Lalu kami berpikir, apabila kami menggunakan lampu sehemat mungkin dan
tidak mendengarkan radio, kami juga dapat menghemat bayaran listrik untuk
bulan itu. Darlene akan bekerja membersihkan rumah dan halaman orang lain
sebanyak mungkin bulan itu, lalu Ocy dan aku menjadi pengasuh anak
(baby-sitter) bagi sebanyak mungkin keluarga yang kami dapat temui. Untuk
setiap 15 sen uang, kami dapat membeli beberapa gulung benang katun yang
cukup untuk membuat 3 buah gantungan pot, lalu dijual seharga $1 per biji.
Dari penjualan gantungan pot itu, kami menghasilkan uang sebanyak $20.

Bulan itu merupakan bulan terbaik yang kami alami. Setiap hari kami
menghitung berapa jumlah uang yang dapat kami sisihkan. Setiap malam, dalam
kegelapan, kami membicarakan tentang keluarga miskin yang akan menikmati
persembahan uang dari gereja. Ada sekitar 80 jemaat yang beribadah di gereja
kami, jadi kami membayangkan berapapun jumlah uang yang kami persembahkan,
total persembahan dari seluruh jemaat pastilah 20 kali lebih besar dari
jumlah uang yang dapat kami persembahkan. Selain itu, setiap Minggu Pendeta
selalu mengingatkan jemaatnya tentang persembahan PASKAH tersebut.

Sehari sebelum PASKAH, Ocy dan aku pergi ke toko bahan makanan untuk
menukarkan seluruh uang koin kami dan manajer toko itu memberi kami uang
kertas $20 sejumlah 3 lembar dan selembar $10. Kami berlarian sepanjang
jalan menuju rumah untuk menunjukkan lembaran-lembaran uang kertas itu pada
Mama dan Darlene. Kami belum pernah memiliki uang sebanyak itu sebelumnya.
Malam itu kami berempat sangat bersukacita sehingga sulit bagi kami untuk
memejamkan mata. Kami bahkan tidak peduli bahwa kami tidak punya baju baru
untuk PASKAH; yang penting kami akan mempersembahkan uang jerih payah kami
sebanyak $70 sebagai persembahan PASKAH. Kami sungguh tidak sabar menunggu
untuk segera sampai di gereja!

Hujan mewarnai hari Minggu PASKAH pagi itu. Kami tidak memiliki payung
padahal jarak gereja dengan rumah kami lebih dari 1 mil. Tapi hal itu tidak
menjadi masalah bagi kami berempat. Ketika sampai di gereja sekujur badan
kami basah kuyub. Darlene memanfaatkan potongan kardus bekas untuk menutupi
sepatu usangnya yang mulai menganga. Tapi karena hujan, kardus itu hancur
dan kakinya menjadi basah. Meskipun begitu, kami berempat duduk di gereja
dengan perasaan sangat bangga. Kami duduk di barisan kedua dari depan. Aku
mendengar beberapa remaja membicarakan tentang anak-anak keluarga Smith yang
memakai baju-baju lama. Tapi walaupun aku memandang remaja-remaja itu
berpakaian baju-baju baru, namun aku tetap merasa kaya. Ketika waktu
persembahan tiba, Mama memasukkan $10, dan masing-masing kami memasukkan
$20. Saat berjalan pulang seusai ibadah, kami terus bernyanyi. Saat makan
siang, Mama memberi kejutan. Dia telah membeli selusin telur dan kami boleh
menikmati telur-telur PASKAH kami dengan kentang-kentang goreng!

Saat menjelang sore, kami lihat Pak Pendeta berkunjung ke rumah kami. Mama
membukakan pintu dan berbicara dengannya sebentar. Lalu, Mama masuk kembali
ke rumah dengan sebuah amplop di tangannya. Kami bertanya apakah isi amplop
itu, tapi Mama tidak memberi jawaban. Mama membuka amplop itu dan didalamnya
terdapat sejumlah uang, 3 lembar uang $20, selembar uang $10, dan 17 lembar
uang $1. Mama memasukkan kembali uang itu ke dalam amplop. Tak sepatah
katapun diucapkannya, kami hanya terpekur memandangi lantai. Perasaan kami
yang semula seperti seorang milioner, kini terhempas menjadi seperti orang
papa yang sangat miskin.

Selama ini kami telah hidup sebagai anak-anak yang bahagia dan kami sering
merasa kasihan dengan anak-anak yang tidak memiliki orang tua seperti kami,
atau yang tidak mempunyai rumah yang penuh dengan saudara laki-laki dan
perempuan serta sering dikunjungi anak-anak lain. Walaupun kami tidak
memiliki cukup sendok dan garpu untuk masing-masing kami, namun justru
menjadi sesuatu yang menyenangkan untuk berharap siapa yang akan mendapat
garpu atau sendok yang lengkap malam itu. Dua pisau makan yang kami punyai
harus kami pakai secara bergiliran.

Aku tahu bahwa keluargaku tidak memiliki banyak barang seperti yang
dimiliki keluarga lain, tetapi aku tidak pernah berpikir bahwa kami adalah
keluarga miskin. Tapi, PASKAH tahun itu sungguh menyadarkan kami bahwa
ternyata kami termasuk keluarga yang paling miskin di gereja kami.

Aku sangat tidak suka dikatakan miskin. Tapi ketika aku melihat baju dan
sepatu yang kupakai, hal ini membuatku merasa tidak lagi ingin pergi ke
gereja. Setiap jemaat pastilah sudah tahu bahwa kami adalah keluarga miskin!
Aku juga berpikir tentang sekolah. Saat itu aku ada di SMA kelas 1 dan
meraih ranking 1 di antara 100 murid yang ada. Tapi apakah teman-teman di
sekolah juga mengetahui bahwa aku termasuk orang miskin? Ingin rasanya aku
memutuskan untuk keluar dari sekolah karena toh aku telah menyelesaikan SMP
dan telah memenuhi batas wajib belajar yang ditentukan aturan hukum yang
berlaku saat itu.

Kami duduk dan diam sepanjang sisa hari Minggu itu. Ketika hari menjadi
gelap, kami semua langsung pergi tidur. Sepanjang minggu itu kami bertiga
pergi ke sekolah dan langsung pulang ke rumah. Tidak ada selera untuk
bercanda dan berbicara sama sekali. Ketika hari Sabtu tiba, Mama menanyakan
apa yang ingin kami lakukan dengan uang persembahan itu. Apa yang kira-kira
akan dilakukan orang miskin bila mendapatkan uang? Kami tidak tahu, karena
selama ini kami tidak pernah merasa bahwa kami orang miskin....

Kami bertiga sebenarnya tidak ingin pergi ke gereja hari Minggu itu, tapi
Mama berkata bahwa kami harus tetap beribadah. Meskipun matahari bersinar
cerah, tapi kami sama sekali tidak berbicara sepanjang perjalanan ke gereja.
Mama mulai menyanyikan sebuah pujian, tapi tak satupun dari kami yang turut
menyanyi dan Mama hanya menyanyikan satu bait saja.
Ada seorang misionaris
yang datang berkotbah di gereja kami Minggu itu. Dia menceritakan tentang
bagaimana gereja-gereja di Afrika dibangun dengan menggunakan batu bata yang
dikeringkan dengan tenaga matahari dan gereja-gereja itu masih membutuhkan
uang untuk membuat atap-atap gereja. Misionaris ini mengatakan bahwa uang
sebesar $100 akan cukup untuk membuat atap gereja mereka. Pendeta gereja
kami menghimbau, "Dapatkah kita memberi persembahan untuk menolong
orang-orang di Afrika untuk membangun atap gereja mereka di
sana?"

Kami saling berpandangan dan untuk pertama kalinya sepanjang minggu itu,
kami tersenyum. Mama dengan cepat mengambil amplop uang dari dompetnya. Dia
memberikannya pada Darlene, lalu Darlene memberikannya padaku, dan langsung
kuberikan ke Ocy, dan Ocy meletakkannya di kantong persembahan. Ketika
persembahan itu dihitung, majelis mengumumkan bahwa jumlah semua persembahan
yang terkumpul adalah "$100 lebih sedikit". Misionaris itu sungguh bersuka
cita. Dia tidak  menyangka akan mendapat persembahan yang begitu besar dari
gereja yang kecil ini. Misionaris itu berkata, "Pasti ada orang-orang kaya
di gereja ini."

Perkataan itu menyentuh kami! Kamilah yang mempersembahkan $87 dari total
persembahan "$100 lebih sedikit" tadi! Bukankah misionaris itu yang
mengatakan bahwa kami kaya? Sejak saat itu, aku tidak pernah merasa miskin
lagi. Aku selalu ingat betapa kayanya aku karena memiliki Yesus dalam
hidupku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar